Streaming alquran dan terjemah

Rabu, 20 Juni 2012

Janji Ditepati, Kemenangan Pasti

0 komentar

Perang adalah membunuh atau dibunuh, tapi janji tetaplah janji. Dalam keadaan apa pun janji haruslah ditepati. Tidak ada tempat ”berkhianat” dalam kamus Islam.

Hidayatullah.com--Pada pemerintahan Umar bin Khaththab, Islam berkembang secara menakjubkan. Jumlah pemeluk Islam bertambah berkali-kali lipat seiring dengan perluasan wilayah kekuasaannya. Saat itu Islam tidak saja dipeluk oleh penduduk Arab, tapi juga oleh bangsa-bangsa non Arab, misalnya Parsi.
Bersamaan dengan itu, tentara kaum Muslimin semakin tumbuh kuat dan perkasa. Tapi betapa pun kuatnya pasukan hasil reformasi Umar itu, ada saja pihak yang masih mau mencoba membangkang. Ketenaran pasukan Umar yang telah menggetarkan dunia tidak menyurutkan niat kelompok-kelompok ekstrim untuk melakukan pemberontakan. Salah satu di antaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Harmuzan, mantan gubernur propinsi Nahawand, salah satu propinsi kerajaan Persia yang sudah ditaklukkan Islam.
Dengan modal pasukan terlatih dan loyal, disertai motivasi balas dendam yang membara, Harmuzan menyerang  pertahanan Islam. Tapi dengan kerja keras kaum Muslimin, dalam satu pertempuran yang hebat pemberontakan Harmuzan dapat dipatahkan. Harmuzan sendiri ditangkap hidup-hidup dan ditawan. Akan tetapi atas kebijakan Khalifah, ia dibebaskan hanya dengan membayar jizyah.
Namun kebaikan hati Umar tidak menyadarkannya untuk menyerah dan menjadi warga negara yang baik. Ia justru kembali menghimpun kekuatan yang jauh lebih besar. Setelah berhitung secara cermat, ia pun kembali menggempur basis pertahanan Islam. Pertempuran hebat tak terhindarkan, tapi untuk kedua kalinya pemberontakan Harmuzan dapat dipatahkan. Ia kembali menjadi tawanan. Ia kemudian dihadapkan kepada Khalifah.
“Apakah kamu gubernur Nahawand yang memberontak?” tanya Umar.
“Benar, akulah orangnya,” jawab Harmuzan.
“Bukankah kamu sering melanggar perjanjian dengan kaum Muslimin?” tanya Umar lagi. “Ya, aku telah melakukan itu.”
“Apakah kamu telah menyadari bahwa hukuman atas pengkhianatan itu adalah kematian?”, “Ya, aku menyadarinya.”
“Baiklah, apakah kamu telah siap menjalani hukuman tersebut sekarang?” selidik Umar.
“Aku siap, tapi ada satu permohonan sebelum aku mati,” pinta Harmuzan
“Apa itu?” tanya Umar.
“Aku haus sekali, bolehkah aku meminta segelas air?” kata Harmuzan
“Tentu saja,” kata Khalifah.
 Setelah segelas air terhidang, Harmuzan berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, aku khawatir jika kepalaku dipenggal sebelum sempat aku meminum air ini.”
“Tidak akan,” tegas Umar memberi jaminan. “Tidak seorang pun yang akan menyentuh rambutmu sebelum kamu menghabiskan minuman itu.”
Suasana sunyi sejenak. Tapi segera pecah setelah Harmuzan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, engkau telah berjanji kepadaku bahwa engkau tidak akan menyentuh rambutku hingga aku menghabiskan air ini. Aku tidak menghabiskan air ini.” Sembari membuang gelas di tangannya ia melanjutkan, “Engkau tidak boleh membunuhku.”
Seraya tersenyum, Umar berkata, “Gubernur, ini adalah siasat cerdikmu. Walau bagaimanapun, karena Umar telah berjanji, dia harus menepatinya. Karena itu, sekarang engkau bebas.”
Selang beberapa lama, Harmuzan kembali ke Madinah, ibu kota negara Islam, dengan membawa rombongan besar. Tapi kedatangannya yang ketiga kali ini ia bukan untuk menyerang melainkan untuk masuk Islam. “Wahai Amirul Mukminin, kami datang untuk mencari kehidupan baru. Undanglah kami kepada Islam,” kata Harmuzan di hadapan Sang Khalifah.
Perang adalah membunuh atau dibunuh, tapi janji tetaplah janji. Dalam keadaan segenting apa pun janji haruslah ditepati. Tidak ada tempat dalam Islam untuk berkhianat. Inilah moralitas Islam yang dijunjung tinggi  oleh para salafush-shalih (orang-orang terhadulu yang shalih) dan pemuka Islam hingga kini.
Boleh jadi kaum Muslimin mempunyai tabiat dan perilaku buruk, tapi dua hal yang tidak boleh ada pada setiap kaum Muslimin adalah khianat dan dusta.
Rasulullah menegaskan hal itu:
Seorang Mukmin mempunyai tabiat atas segala sifat tercela, kecuali khianat dan dusta. (H.R. Al-Bazzaar)
Sebagai pemimpin, Rasulullah sendiri sering membuat perjanjian dengan musuh-musuhnya. Salah satu perjanjian yang sangat monumental sekaligus kontroversial adalah perjanjian Hudaibiyah. Para sahabat pada awalnya menentang isi perjanjian itu karena isinya sangat tidak adil dan dinilai merugikan pihak Islam. Maka ketika Rasulullah saw tetap meneken perjanjian itu, mereka kecewa. Umar karena kecewanya sempat berkata keras kepada Nabi SAW, “Ya Muhammad, apakah engkau masih seorang Rasul?”
Dalam penilaian sahabat, semua pasal dalam perjanjian itu tidak ada yang menguntungkan pihak Muslim, terutama pasal yang menyatakan bahwa jika ada penduduk muslim Mekah yang pindah ke Madinah, maka harus dikembalikan ke Mekah. Sementara jika ada warga Madinah yang ingin kembali ke Mekah tidak boleh dicegah.
Saat itu masih banyak  kaum Muslimin yang belum berhijrah ke Madinah. Mereka tinggal di Mekah di bawah tekanan keras kaum kafir Quraisy. Jika diketahui ada yang lari menyusul kaum kerabatnya hijrah ke Madinah, tak segan-segan kaum kafir Quraisy memberi hukuman, berupa siksaan yang amat keji.
Usaha untuk menyelamatkan kaum Muslimin Mekah telah dilakukan dengan berbagai cara, akan tetapi setelah perjanjian Hudaibiyah itu berarti usaha penyelamatan sudah tertutup sama sekali. Inilah yang sangat disesalkan oleh para sahabat.
Saat perjanjian berlangsung, ada sekelompok orang di bawah kepemimpinan Abu Jandal lari ke Madinah. Sesuai dengan perjanjian Hubaibiyah, pemimpin Quraisy menuntut agar Abu Jandal dan rombonganya dikembalikan ke Mekah. Dengan berat hati Rasulullah menyerahkan orang-orang tersebut pada penguasa Mekah. Lagi-lagi banyak di antara sahabat yang berkeberatan atas penyerahan ini, tapi demi perjanjian yang sudah ditanda tangani, pantang bagi seorang Rasul untuk menyelisihi. Janji harus ditepati.
Abu Jandal ternyata lebih cerdik dari penguasa Quraisy. Setelah sampai di daerah netral, ia bersama kelompoknya melakukan perlawanan dan menang. Ia kemudian mendirikan basis di tempat tersebut. Seperti sudah tahu tugas yang harus dilakukannya, kelompok ini kemudian memotong jalur perdagangan kafir Quraisy yang sangat strategis. Tidak sedikit kerugian yang diderita kaum kafir Quraisy akibat ulah kelompok ini, tapi mereka tidak bisa menunut kaum Muslimin untuk menghentikan perbuatan Abu Jandal tersebut, karena mereka berada di luar wilayah kekuasaan Madinah.
Di balik peristiwa itu ada fenomena yang menggembirakan. Dengan perjanjian itu ternyata jumlah kaum Muslimin di Mekah secara diam-diam justru terus bertambah. Walaupun dalam tekanan yang amat kuat, kaum Muslimin dengan keimanannya terus terdorong untuk melakukan da’wah. Mereka inilah yang kemudian dalam penaklukan Mekah sangat berperan besar, sehingga dalam peristiwa tersebut tidak sampai terjadi pertumpahan darah.
Pembebasan kota Mekah berjalan damai tanpa setetes darah pun mengalir. Inilah kemenangan yang direbut karena menghormati janji. Wallahu a’lam. [by Abu Zeidan. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Hidayatullah/www.hidayatullah.com]

Leave a Reply

KOMPAS

Muslimdaily.net

Arrahmah

Palestina News

Followers

ClustrMaps

Info ccs

    W3 Directory - the World Wide Web Directory Page Ranking Tool

    Enter your email address:

    Delivered by FeedBurner